Kamis, 17 April 2008

KEJAHATAN STRUKTURAL TERHADAP BURUH PERUSAHAAN


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berita soal pelanggaran terhadap buruh bagi sebagian besar orang adalah tidak asing lagi didengar, bahkan, kalau dicermati hampir setiap hari ada saja media massa baik lokal maupun ibukota yang memberitakan tenttang pelanggaran tersebut. Pelecehan seksual terhadap karyawan wanita, upah yang tak memenuhi standar minimum yang ditetapkan adalah 2 hal yang akrab di telinga setiap orang. Di samping minimnya perlindungan keselamatan karyawan ketika bekerja, minimnya perhatian perusahaan terhadap hak-hak beribadah. Sampai pada bahaya ancaman kekerasan menjadi permasalahan buruh yang serius.

Ilustrasi di atas bukan omong kosong belaka, kenyataannya penindasan tersebut banyak dijumpai di lapangan. Keseriusan bukan saja terhadap pelanggaran hak-hak buruh namun kejahatan struktural juga ternyata cukup menghantui para buruh. Kejahatan struktural adalah kejahatan yang dilakukan penguasa, terorganisir dan biasanya berlindung di balik hak-hak positif yang ada. Kepentingannya bisa ekonomi atau politis.

Dari sepuluh kebijakan yang dibuat pemerintah, sembilan di antaranya biasanya dibuat untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya.

Kejahatan struktural terhadap buruh yang hingga kini belum tuntas adalah kasus Marsinah. Diduga kuat di balik tewasnya Marsinah, ada kepentingan politik rezim yang berkuasa: membungkam buruh agar takut menyuarakan hak-haknya.

B. Masalah

Dari fakta yang ada tampak kejahatan struktural implikasinya lebih serius dibanding kejahatan biasa. Alasannya:

Kejahatan struktural itu biasanya tidak begitu tampak, namun dampaknya sangat terasa, sebab itu sering kali buruh tak begitu merasakannya.

Kejahatan struktural tersusun dengan rapi dan sistematis, sebab korban dari kejahatan struktural jumlahnya tidak sedikit.

Jika saat ini saja terdapat tujuh puluh juta di Indonesia maka sebanyak itu pula korbannya, belum lagi anak istri sang buruh tersebut.

Upah buruh yang dibiarkan rendah juga termasuk kejahatan ini, soalnya rendahnya upah pemerintah malah dijadikan pemerintah sebagai salah satu primadona guna mengundang investor. Proses pemiskinan buruh malah dijadikan daya tarik oleh pemerintahannya sendiri.

Kondisi seperti ini dibenarkan oleh ketua devisi perburuhan LBH Jakarta, menurutnya meski tingkat kesadaran masyarakat belum naik, tapi tingkat perlindungan Negara terhadap buruh tidak konkrit sebab pemerintah terlalu berpihak pada para investor, pemegang modal yang memang tujuannya bisnis.

Contoh lain, tentang dana yang tersimpan di Jamsostek. Dalam prakteknya, dana ini yang juga milik buruh tersebut sering dimanfaatkan pemerintah untuk melaksanakan proyek-proyek tersebut yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan para buruh. Padahal, dana ini semestinya diperuntukkan bagi karyawan atau buruh sepenuhnya, sebab memang itu adalah hak buruh. Jadi Jamsostek harus menjadi suatu lembaga yang berorientasi pada pengembangan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Marsinah bukan hanya sebuah nama. Ia adalah tonggak sekaligus simbol ketertindasan kaum buruh Indonesia. Hingga saat ini tangis rintih jutaan “kaum Marsinah” terus mengucurkan perih. Hal itu bukan cuma berkenaan dengan masalah klasik seperti UMR yang banyak dilanggar para taipan jahil, yang berdampak langsung pada kualitas compang-camping standar sandang-pangan-papan mereka. Lebih jauh lagi hak-hak beribadah merekapun sering dikebiri semena-mena.

Kepedihan mereka untuk sebagian yang punya nyali tumpah di jalanan lewat aksi demo atau mogok kerja. Untuk sebagian lagi dan ini jauh lebih besar jumlahnya, kenelangsaan mereka yang dilipat dalam kamar-kamar yang sesak di balik tikar dan bantal yang tipis dan bau apek.

Yang menjadi banyak pihak mengelus dada campur kesal adalah pemandangan lumrah di hampir semua pabrik dan pasar-pasar pertokoan yang rata-rata didominasi oleh karyawan perempuan. Ini mengundang masalah rumit tersendiri. Terutama menyangkut giliran kerja malam. Keamanan dan kehormatan mereka sering terancam, kasus pemerkosaan dan kasus hamil di luar nikah (yang kerap diikuti dengan kasus buang bayi). Bahkan para buruh perempuan itu baik yang bekerja di pabrik-pabrik maupun di pertokoan, tidak sedikit yang akhirnya tergelincir menjadi pelacur jalanan.

Semua itu mungkin, Cuma deretan kecil pinggiran yang menimpa kaum buruh kita. Di balik potret usang yang memilukan itu, sepertinya ada tumpukan masalah yang kian menggumpal, yang lebih bersifat struktural, hingga hari ini kian membelenggu kaum buruh kita. Misalnya soal upah yang jauh standar hidup minim yang normal, ini bukan cuma masalah galat atau pelitnya juragan yang punya perusahaan aliass si kapitalis. Tapi berkait pula dengan strategi pemerintah untuk merayu para investor asing agar mau menanamkan modalnya di negeri ini.

Juga masalah kurang terurusnya kesempatan dan fasilitas beribadah untuk para buruh itu bukan sekedar refleksi kedengkian yang sifatnya individual, tapi lebih dari itu, ada unsur kesengajaan untuk mensekulerkan para buruh secara sistematis.

Jadi apakah pemerintah akan membiarkan hal-hal seperti ini berlarut terus menyengsarakan rakyat kecil. Kenapa harus perusahaan tunduk kepada kebijakan pemerintah yang konyol. Semestinya berdirinya suatu perusahaan didasarkan pada struktur organisasi yang jelas dan prinsipil.

II. PEMBAHASAN

Menyikapi semua permasalahan di Negara kita memang tidak gampang. Hal itu disebabkan adanya keterkaitan pada semua sektor kehidupan bernegara dan bermasyarakat parahnya lagi hubungan tersebut terkait pada Birokrasi yang amburadul. Jadi apabila kita menutup lubang itu seperti membuka lubang di sisi lain. Kecuali kita menginginkan dan memperjuangkan nasib bangsa ini secara bersama-sama. Tapi yang pasti itu semua membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Untuk membebaskan kaum buruh dari penindasan para majikan dan struktur kekuasaan serta mendorong terwujudnya tatanan Negara yang mengedepankan kesejahteraan untuk seluruh rakyat. Kita mesti merancang devisi yang mengurus pembinaan dan latihan untuk karyawan perusahaan tersebut (Muttamimma Ulla, Sabili, hal 17). Di samping itu birokrasi kita belum efisien, sehingga upah buruh sulit dinaikkan. Contohnya, soal birokratisasi untuk keperluan import sangat bertele-tele, yang tentu saja menambah beban biaya. Jadi untuk menaikkan upah buruh, harus dikaitkan dengan kebijakan-kebijkan yang bersifat struktural (Hatta Rajasa, Sabili, hal 18).

Agar berjalannya suatu organisasi yang teratur seperti perusahaan maka diperlukan komunikasi. Memang dalam berkomunikasi dengan buruh itu harus sabar, karena mereka dalam kondisi tertindas. Komunikasi antara kaum Industri, serikat buruh, Depnaker harus komprehensif dan intensif dilakukan, sehingga struktur biaya yang efisien dapat ditemukan.

Untuk menegakkan aturan main yang adil dan mensejahterakan ke semua pihak, baik buruh maupun pengusaha, maka yang penting bukan sanksi terhadap pelanggaran aturan, tapi kesepakatan harus dibangun secara bersama-sama, fair dan transparan. Karena semua ini menyangkut HAM.

Adapun tujuan berbagai saluran komunikasi adalah:

1. Saluran komunikasi ke bawah pada umumnya dipergunakan untuk:

a. memerintah

b. mengajar atau melatih

c. memberikan informasi dan untuk,

d. mempengaruhi

2. Saluran komunikasi ke atas terutama dipergunakan untuk :

a. membuka laporan

b. mengajukan permohonan

c. memberi saran

d. mengajukan protes.

e. memberi informasi dan untuk mempengaruhi

Adapun komunikasi berjalan 2 arah maka kita perlu mengetahui ruang lingkup komunikasi. Dimana komunikasi dapat dibedakan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

a. Suatu perintah

b. Suatu permintaan

c. Suatu observasi

d. Sebagai informasi

e. Sebagai pelajaran

f. Dalam pengambilan kebijaksanaan

Apabila kebijaksanaan sudah ditentukan, maka hal-hal berikut dapat ditentukan:

1. Apa yang perlu dikomunikasikan?

2. Siapa yang akan menyampaikan?

3. Siapa yang akan menerimanya?

4. Bagaimana akan menyampaikannya?

5. Dimana dan bilamana akan dilakukan?

6. Bagaimana memeriksa tanggapan?

(Dale Yoder. Ph. D, Handbook of personnel management and Labor Relations, Hal 13)

Faktor-faktor dalam memilih komunikasi :

a. kecepatan

b. kecermatan

c. keamanan

d. kerahasiaan

e. catatan

f. biaya

g. kesan

h. senang memakainya

i. penyusunan tenaga kerja

j. jarak.

Faktor-faktor dalam memilih komunikasi yang efektif:

1. kemampuan orang untuk menyampaikan informasi

2. penilaian dengan seksama apa yang akan disampaikan oleh komunikator

3. saluran komunikasi yang jelas dan tegas

4. media yang memadai untuk menyampaikan pesan

5. penentuan waktu dan penggunaan media yang tepat

6. tempat-tempat penyebaran yang memadai

7. kemampuan dan kemauan penerima untuk menerima pesan

8. penerimaan informasi dan penafsirannya yang tepat

9. penggunaan informasi yang efektif

10. pemberitahuan kepada pengirim mengenai hasil tindakan

(Drs. Moekijat, Kamus manajemen, hal 80)

Komunikaasi yang sehat membutuhkan budaya keterbukaan dan keterusterangan dengan menyampaikan, menilai ataupun bersikap apa adanya.

Agar kejahatan struktural dapat dipulihkan secara berangsur bukan hanya komunikasi yang perlu diperhatikan.tetapi juga pribadi-pribadi yang berperan menjalankan suatu perusahaan. Dimana peran dominan dimiliki oleh pengusaha.

Beberapa kriteria pemimpin menurut Islam:

1. harus beriman (Q.S An Nisa : 144)

2. harus ahli dalam bidangnya (capable)

3. dapat diterima masyarakat (acepable)

4. mengutamakan terwujudnya kemaslahatan umat

5. tidak arogan dan tidak otoriter

6. korektif dan reformis

7. sehat dan kuat

Kejahatan struktural merupakan penguasa yang sewenang-wenang, yang termasuk adalah:

a. Penguasa yang berbuat punya kewenangan secara yuridis

b. Unsur kepentingan umum kurang diperhatikan

c. Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian konkrit bagi pihak tersebut.

Jadi apabila hal itu menyangkut pada kesewenangan pemerintah. Lembaga pengawas Negara harus aktif agar pemerintah yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan yang merata dalam kehidupan masyarakat.

III. KESIMPULAN

Kesimpulan Analisis

Penindasan terhadap buruh tidak akan terjadi apabila komunikasi antara penguasa baik itu pemerintah atau penguasa dengan karyawan dapat berjalan baik, efektif, dan efisien. Selain komunikasi tidak kalah pentingnya adalah sikap kerja seseorang baik itu moral sebagai pengusaha ataupun moral sebagai karyawan. Sehingga masing-masing pihak tahu akan porsi hak-hak dan kewajibannya.

Komunikasi merupakan hal vital dalam pergaulan yang menghubungkan antara individu maupun lintas kelompok. Kekuatan komunikasi bukan hanya ditentukan oleh faktor kedekatan dan frekwensi tetapi juga sangat dipengaruhi oleh ketepatan komunikasi.

Perbedaan usia, status, senioritas, budaya hukum, dan suku tidak dapat dijadikan pembenaran komunikasi yang buruk untuk itu diperlukan pemahaman, latihan, dan manajemen dalam hal prinsip dan norma komunikasi.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Moekijat, Drs, Teori Komunikasi, Cetakan pertama, Mandar Maju, Bandung, 1993.

A.A. Anwar Prabu Mangkunegara. Drs., Psikologi Perusahaan, Cetakan Pertama, Trigenda Karya, Bandung, 1993

Sabili, Buruh yang tertindas dan Terlupakan, Edisi 10/VII PT. Bina Media Sabili, Jakarta, 2000.

Ummi, Manajemen Komunikasi, Edisi 11/XII. Koperasi Insan Media Ummi Sholihat, Jakarta, 2001.

Komaruddin, Drs, Prof, Manajemen Kantor, Cetakan Kedua, PT Trigenda Karya, Bandung, 1993.

Tidak ada komentar: