Kamis, 17 April 2008

DILEMATIS ANTARA PENGUSAHA DAN BURUH MENGENAI

I. PENDAHULUAN

Persoalan upah buruh masih menjadi topik yang penting untuk dibahas saat ini. Karena bagaimanapun juga, upah merupakan masalah yang sensitif bagi buruh. Upah yang bagi buruh masih menjadi komponen utama yang menopang kehidupan mereka sehari-hari. Apalagi di Indonesia tidak sedikit penduduknya yang menggantungkan hidupnya dengan menjadi buruh di beberapa pabrik di kota-kota di Indonesia.

Kenaikan upah minimum setiap tahunnya oleh pemerintah Indonesia selalu memunculkan polemik di beberapa media massa. Pandangan yang berbeda dari pengusaha yang diwakili oleh Asosiasi Pengusaha maupun dari pekerja yang diwakili oleh Serikat Buruh / Serikat Pekerja menjadi masalah tersendiri, ketika pengusaha menganggap kenaikan upah minimum berarti mengeluarkan ekstra uang dari perusahaan untuk buruhnya. Sementara dari buruh sendiri, kenaikan upah minimum merupakan hal yang sangat ditunggu-tunggu.

Tulisan berikut ini diharapkan mampu mengungkap dilematis antara pengusaha dan buruh yang disebabkan karena tuntutan kenaikan upah minimum oleh buruh.

II. PERMASALAHAN

“Siapa yang tidak ingin hidup sejahtera? Ada jaminan masa depan yang lebih baik. Jika bukan untuk kita tentulah untuk generasi kita berikutnya. Seorang budayawan tergagap ketika melihat permukiman di sepanjang Kapak Kamal. Ruang sempit 3x3 atau 2x2 meter tempat para buruh tinggal lebih mirip sel karena disesaki oleh 10 orang buruh bahkan lebih atau ‘ruang lain’ 2x3 meter untuk dibagi per keluarga (seperti kontrakan di daerah Cibinong-Cileungsi). Mereka patungan untuk sekedar mencari ruang istirahat dan berharap masih ada sisa untuk dikirim ke kampung. Siapa yang tidak ingin hidup lebih layak?”

Kasus Upah Minimum Propinsi (UMP) Propinsi DKI Jakarta kembali menjadi berita. Tentang nasib buruh, tentang nasib pengusaha, tentang nasib semua. Krisis memang telah membuat kita semua susah, namun siapakah sebenarnya yang paling menderita? UMP 2002 yang katanya telah melalui kesepatakan tripartit yang selama ini dianggap mewakili semua pihak ditolak oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) alasannya upah yang naik sampai 39 persen (dari Rp. 426.250 menjadi Rp. 591.000) itu akan membangkrutkan perusahaan. Perusahaan cuma mampu menaikkan UMP maksimal 15 persen dengan asumsi telah mempertimbangkan 12 persen inflasi dan kemampuan perusahaan 3 persen. Siapa yang berhak menghitung dan menetapkan tingkat upah?

Persoalan upah buruh masih menjadi topik yang penting untuk dibahas karena upah merupakan masalah yang sensitif bagi buruh. Upah bagi buruh masih menjadi komponen utama yang menopang kehidupan mereka sehari-hari. Terkait dengan persoalan upah ini, pengumuman penetapan kenaikan upah minimum oleh Pemerintah Indonesia setiap tahun selalu memunculkan polemik di media massa. Dengan mengamati pemberitaan media massa terlihat bahwa ada berbagai pandangan kontroversial yang selalu muncul, baik dari pihak pengusaha yang diwakili oleh Asosiasi Pengusaha maupun pekerja yang diwakili oleh Serikat Pekerja/ Serikat Buruh. Hal ini berlaku pula di Jawa Barat ketika pemerintah di tingkat propinsi mengumumkan penetapan Upah Minimum Propinsi Jawa Barat tahun 2002 pada akhir bulan November yang lalu dan disusul kemudian oleh pengumuman penetapan Upah Minimum Kabupaten dan Kotamadya di seluruh Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan SK Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Penetapan Upah Minimum Propinsi dan Kabupaten/Kota, Upah Minimum Propinsi tahun 2002 ditetapkan 60 hari sebelum dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2002, sementara Upah Minimum Kabupaten/Kota selambatnya 40 hari sebelum pelaksanaan.

Upah minimum meskipun secara normatif hanya diterapkan bagi buruh tanpa pengalaman dan nol masa kerja, dalam pelaksanaannya telah terdistorsi dan memberikan “efek domino” bagi buruh yang telah memiliki masa kerja. Kenaikan upah minimum biasanya menyebabkan kenaikan upah bagi buruh di semua tingkatan. Fenomena ini biasa disebut sebagai “upah sundulan”. Hal ini selalu menjadi kekhawatiran pengusaha karena konsekuensi kenaikan biaya pekerja yang harus mereka keluarkan. Sebaliknya, dari sisi para buruh, kenaikan upah minimum menjadi satu hal yang selalu ditunggu dan diharapkan karena upah mereka akan sering naik seiring naiknya upah minimum.

Kebijakan upah minimum yang diterapkan Pemerintah Indonesia sejak akhir tahun 80-an, secara normatif berfungsi sebagai upah bagi pekerja yang berada di tingkatan terendah di sebuah perusahaan. Hal ini sebenarnya dapat diartikan sebagai upaya perlindungan terhadap upah buruh agar pihak pengusaha tidak bersikap sewenang-wenang dalam memberikan kompensasi bagi tenaga dan hasil kerja buruh. Standarisasi ini masih diperlukan dalam sistem pengupahan di Indonesia karena situasi dan kondisi perburuhan, terutama yang menyangkut daya tawar buruh yang masih sangat rendah sehingga belum memungkinkan buruh untuk melakukan negosiasi secara bipartit.

Hingga saat ini, kebijakan perburuhan, khususnya yang menyangkut upah minimum, telah mengalami perubahan seiring dengan berbagai perubahan dalam bidang ekonomi, sosial dan politik yang terjadi di Indonesia. Perubahan di bidang ekonomi yang memberikan dampak paling besar terhadap kondisi perburuhan di Indonesia adalah terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 yang membuka iklim reformasi dan demokratisasi. Iklim ini mendorong Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO No. 87/1948 mengenai Kebebasan Berserikat. Konstelasi politik perburuhan di Indonesia sejak saat itu mulai berubah dengan munculnya banyak Serikat Buruh yang berupaya menjadi representasi buruh dalam hubungan industrial, baik secara bipartit di tingkat perusahaan maupun tripartit antara lain dalam institusi Dewan Pengupahan.

Selain memperhitungkan munculnya banyak Serikat Buruh sebagaimana diuraikan di atas, hal penting lainnya yang perlu diperhitungkan dalam kebijakan perburuhan adalah diberlakukannya Otonomi Daerah. Secara normatif kedua hal tersebut dapat dilihat sebagai kesempatan yang terbuka bagi buruh dan Serikat Buruh untuk lebih berpartisipasi dalam kebijakan perburuhan khususnya mengenai upah minimum. Akan tetapi, studi yang dilakukan AKATIGA menunjukkan bahwa secara praktek, kesempatan-kesempatan tersebut masih sulit dimanfaatkan secara optimal oleh Serikat Buruh. Berbagai faktor yang menghambat hampir seluruhnya bermuara pada ketidaksiapan Serikat Buruh secara institusional dalam melakukan perannya di dalam institusi tersebut. Faktor lain yang jadi penghambat ialah justru dari kebijakan Pemerintah mengenai penetapan upah minimum itu sendiri yang melahirkan sistem dan mekanisme penentuan upah minimum yang tidak demokratis dan adil bagi buruh.

III. PEMBAHASAN

Dahulu sebelum masa krisis (masa ORBA) serikat buruh independent tidak boleh hidup di Indonesia. Pemerintah saat ini lebih mementingkan sisi pengusaha dibandingkan sisi buruh. Buruh tidak berdaya melawan ‘organisasi’ pemerintah dan pengusaha. Melawan paduan kekuasaan dan uang. Akibatnya buruh selalu menjadi marginal, bahkan dalam hitungan ongkos produksipun merupakan elemen yang terendah dalam persentase biaya-biaya produksi. Kesepakatan bipartit tentu tidak pernah bisa membela buruh yang pada saat ini dalam posisi yang sangat lemah (bahkan sebagian besar perusahaan melarang organisasi buruh) sementara lembaga tripartit menjadi pseudo institution yang sama sekali tidak bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan buruh.

Hal ini wajar sebab pemerintah saat ini berasumsi pembangunan memang bukan untuk pemerataan kesejahteraan namun untuk pertumbuhan ekonomi dan perluasan lapangan kerja untuk menyerap pertumbuhan angka kerja, walaupun fakta berkata semua intervensi pemerintah pada waktu itu justru menimbulkan akumulasi inefisiensi yang menyebabkan kita bangkrut. Industri kita penuh dengan subsidi yang salah sasaran, sedangkan pemerintahnya penuh dengan tindak korupsi. Keringat buruhlah yang membuat pengusaha dan koruptor bisa memiliki kemewahan seperti sekarang. Bagaimana keadaan buruh sekarang? Di era reformasi secara politik buruh boleh demonstrasi meminta kenaikan upah-boleh berorganisasi secara independent. Di sisi lain secara ekonomi kita sedang mengalami depresi ekonomi. Kenaikan upah secara teori jika tidak berimbang dengan kenaikan produktivitas akan mengakibatkan pengurangan di lapangan kerja (paling tidak dengan mempertahankan buruh yang ada) akan berdampak pada resiko gejolak sosial jika kedua belah pihak tidak dapat menemukan jalan keluar yang ‘adil’ bagi kedua belah pihak. Gejolak sosial inilah yang akan kita bayar jika kita memiliki pandangan myopic.

Posisi buruh secara real tidak berubah dari tempatnya semula. Lemah terhadap negara dan pengusaha. Sama sekali tidak memiliki bargain. Posisi buruh sekarang jika tetap ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik akan berhadapan dengan [1] PHK massal karena pengusaha akan mengganti investasi padat karya dengan padat modal, memilih investasi ke luar negeri atau membangkrutkan perusahaannya, [2] Skorsing atau merumahkan buruh karena alasan efisiensi ataupun disinsentif terhadap buruh yang ‘bandel’, [3] Pembersihan terhadap aktivis buruh dan larangan untuk melakukan serikat buruh, [4] Upah yang rendah, kenaikan UMP tetap tidak sebanding dengan kenaikan kebutuhan hidup minimum apalagi bicara tentang proteksi masa depan.

Bagaimana reaksi pemerintah? Pemerintah memiliki kebijakan untuk memberlakukan upah minimum regional (seperti UMP ini) yang berbeda bagi setiap daerah untuk menetapkan sendiri sesuai dengan [1] Kebutuhan hidup minimum (KHM) yang dihitung dari indeks harga konsumen (IHK) dari Biro Pusat Statistik (BPS) yaitu kelompok pangan, kelompok papan, kelompok sandang, dan kelompok lain-lain, [2] IHK dari Biro Pusat Statistik Daerah, [3] Kemampuan, perkembangan dan kelangsungan perusahaan, [4] Tingkat upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar daerah (propinsi), [5] Kondisi pasar kerja, [6] Tingkat perkembangan ekonomi dan pendapatan perkapita (sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-01/Men/1999 tentang upah minimum).

Pemerintah Daerah DKI Jakarta berasumsi kenaikan upah didasarkan pada kenaikan pendapatan rata-rata perkapita penduduk DKI tahun 2001. Kesalahan yang sama ketika melihat suksesnya pembangunan ekonomi dilihat dari tingginya GNP. Perhitungan ini akan terlihat besar karena ‘nilai pencilan’ segelintir orang terkaya di Jakarta yang mendongkrak persentase ‘kenaikan’ pendapatan perkapita (nasional/daerah). Hal inilah yang menurut pengusaha kurang bijaksana. Tapi menurut penelitian Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada tahun 2001 seperti dikutip Kompas (13/01/02) belanja real buruh di luar KHM adalah Rp. 331.380,52 dan jika ditambah KHM menjadi Rp. 833.585 dengan catatan itu masih lajang! Buruh menikah tapi belum memiliki anak menghabiskan Rp. 350.000,19 dengan KHM menjadi Rp. 902.544. Buruh yang memiliki anak satu menghabiskan Rp. 369.312,92 atau dengan KHM sekitar Rp. 1.021.366. Buruh dengan dua anak menghabiskan Rp. 419.757,59 atau dengan KHM Rp. 1.205.115. Buruh dengan tiga anak menghabiskan Rp. 496.538,53 atau dengan KHM Rp. 1.399.333.

Sekarang berharap perhitungan didasarkan dari perbandingan upah antar wilayah, hasilnya akan tidak jauh berbeda mengingat situasi dan kondisi makro yang sama. Yang disebabkan gagalnya institusi pasar dan pemerintah pada berbagai sektor ekonomi. Pemerintah jangan cuma sok-sok-an membela kaum buruh namun distorsi terhadap pasar jauh lebih besar dampaknya dalam memiskinkan buruh dan masyarakat. Juga kebijakan (regulasi) yang menimbulkan biaya transaksi yang tinggi terhadap dunia usaha itu harus dikurangi. Belum lagi upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana ekonomi (skala kecil, besar dan raksasa) yang masih belum kelihatan aktualisasinya. Dan segudang masalah lain yang selalu menyertai dunia usaha ketika pemerintah mengintervensi pasar hasilnya selalu kontraproduktif terhadap alokasi sumber daya yang efisien.

Ribut-ribut masalah kenaikan Upah Minimum Propinsi (UMP) setiap tahun pasti akan terulang selama proses penentuan, kesadaran, kejujuran dan transparansi belum menjadi acuan. Persoalan UMP memang bukan persoalan sepele, karena menyangkut nasib buruh, keluarga buruh maupun kelangsungan usaha dan bahkan minat calon investor. Sehingga kebijakan UMP selalu menjadi Dilema berkepanjangan. Terlebih kenaikan UMP kali ini yang diikuti kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik, sehingga memacu kenaikan hampir semua harga produk dan jasa. Sejarah telah membuktikan bahwa setiap kenaikan BBM selalu diikuti kenaikan inflasi, yang menyebabkan berkurangnya daya beli masyarakat, sehingga ujung-ujungnya akan mengurangi minat investor.

Bertolak hal di atas UMP memang masih layak diperjuangkan, karena memang nasib buruh masih sangat memprihatinkan, meskipun tidak semua karena ada sebagian buruh yang upahnya telah mencapai jutaan rupiah per bulan. Ironisnya kenaikan UMP yang selalu dilakukan atau ditetapkan pemerintah ternyata selalu belum atau tidak dapat mengimbangi kenaikan kebutuhan pokok.

Hal ini menjadikan UMP selalu lebih rendah bila dibandingkan kebutuhan hidup minimum. Faktor utamanya adalah tidak stabilnya harga-harga kebutuhan pokok yang dipicu inflasi, politik, stabilitas keamanan serta tentunya kesalahan kebijakan! Secara nominal tiap tahun upah minimum regional/ propinsi (UMR/P) memang selalu naik. Namun secara real sebenarnya tidak berubah, bahkan menurun. UMR pada tahun 1997 Rp. 113 ribu. Dengan harga beras Rp. 965/kg, buruh bisa membeli 117 kg beras. Namun sejak 1998-2001 daya beli buruh dengan UMR justru menurun. Pada 1998 dengan UMR Rp. 130 ribu, hanya cukup untuk membeli 65 kg beras yang harganya Rp. 1.995/kg. Pada 1999 harga beras Rp. 2.527/kg. Dengan UMPRp. 153 ribu, maka buruh hanya cukup untuk membeli 59,5 kg beras. Pada 2000 harga beras Rp. 2.200. Kenaikan UMP hanya 20,29% atau Rp. 185 ribu. Upah itu hanya cukup untuk membeli beras 84 kg. UMP 2001 naik 26,49 persen atau Rp. 245 ribu. Beruntung harga beras masih tetap, yaitu Rp. 2.200/kg, sehingga UMP ini cukup untuk membeli beras 111 kg. Pada 2002, harga beras sudah mencapai Rp. 2.600. Dengan UMP Rp. 350 ribu buruh bisa membeli 134 kg beras. Kondisi ini sangat tidak adil. Inflasi 1998, misalnya mencapai 67 persen. Sedangkan kenaikan UMR hanya 15 persen. Padahal, buruh sudah memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap kemajuan usaha.

Demikian pula halnya pada pengusaha yang secara logika pasti butuh laba dan berusaha mempertahankan kelangsungan hidup usahanya. Selalu memandang kenaikan UMP dalam kondisi krisis atau sulit seperti saat ini sebagai hal yang sangat memberatkan, tentu saja wajar bila kenaikan UMP merupakan hal yang dipaksakan, karena bagi pengusaha beban yang akan ditanggung tidak hanya sekedar menaikkan Upah minimum, tetapi juga berdampak adanya tuntutan karyawan/buruh yang upahnya sudah di atas UMP-pun untuk penyesuaian. Lebih-lebih kondisi sosial budaya masyarakat yang cenderung latah atas sesuatu, sehingga keniakan UMP akan menjadi tak berarti bagi buruh tetapi menjadi semakin bagi pengusaha manakala diikuti latahnya kenaikan harga-harga lain. Jika hal ini berlanjut, wajar pula bagi pengusaha. Lebih-lebih perusahaan kecil dan menengah maupun padat karya yang kalau kenaikan UMP dipaksakan, maka untuk dapat mengupah sesuai standar akan melakukan rasionalisasi ataupun pengurangan kuantitas produksi, yang berarti menambah pengangguran. Belajar dari pengalaman kenaikan UMP awal Januari 2001 berdampak 50 perusahaan tekstil telah memindahkan sebagian kegiatan produksinya ke Kamboja dan Vietnam serta berita terkini ratusan pengusaha Jepang di Indonesia mengeluh bahwa produk Indonesia sudah tidak kompetitif lagi. Artinya selama ini pengusaha/investor yang bertahan di Indonesia menganggap upah yang minim sebagai daya tarik investor untuk berkompetitif. Dengan kondisi ini kita harus waspada bahwa tidak tertutup kemungkinan minat investor berkurang bahkan akan menutup usahanya, yang ujungnya bertambah lagi pengangguran.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas bahwa kebijakan UMP yang menjadi faktor utama, sehingga diperkirakan kebijakan yang sama-sama menguntungkan baik buruh, pengusaha maupun pemerintah yang tentunya ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kebijakannya. Kiranya kesadaran, kejujuran dan transparansi antara buruh dan pengusaha menjadi kunci pokoknya.

Jalan terbaik adalah memandang buruh sebagai aset paling bernilai dalam perusahaan baik sebagai asset tangible (input produksi) maupun sebagai asset intangible (citra perusahaan, keberlangsungan perusahaan). Put the last first! Berikan proteksi masa depan kepada buruh sekarang. Bisa dalam bentuk kepemilikan saham perusahaan sebagai intensif produktivitas mereka di masa krisis dengan pembagian keuntungan yang diambil di masa datang. Bisa juga dengan terus-menerus memberikan ‘kenyamanan’ kepada buruh dalam berorganisasi dan melakukan tawar-menawar secara kolektif terhadap perusahaan tanpa ada represi.

Kenyamanan politis ini tentu bisa dibarengi dengan usaha-usaha sosial dari pihak manajemen perusahaan untuk melakukan pemberdayaan di tingkat keluarga buruh, misalnya dengan memberikan dana sosial bergulir bagi keluarga buruh. Tentunya alternatif ini berjalan dengan asumsi terbukanya pihak manajemen terhadap kondisi perusahaan dan berjalannya komunikasi antara buruh dan majikan. Karena untuk keluar dari krisis ekonomi jika melihat dari pengalaman negara lain cuma dapat dilewati dengan selamat dengan cara kerjasama di antara majikan dan buruh demi kepentingan masa depan.

Dan sudah saatnya pengusaha mengalah untuk solusi menang-menang bukan mencari masalah baru seperti mendefaultkan perusahaan dan melakukan capital fight keluar negeri. Artinya secara bipartit pengusaha dan buruh perlu saling musyawarah untuk menentukan upah yang layak pada masing-masing perusahaan. Buruh perlu menyadari kemampuan perusahaan dan pengusaha perlu jujur dan transparan dalam pengelolaan keuangan sehingga buruh melalui serikatnya dapat mengetahui kondisi dan kemampuan perusahaan. Bila hal ini dapat dilakukan (kesadaran, kejujuran dan transparansi) buruh akan sadar dan bahkan termotivasi untuk produktif. Sebaliknya perusahaanpun harus sadar bahwa buruh merupakan bagian kehidupannya sehingga perlu diperhatikan, misalnya dengan menyisihkan sekitar persen dari labanya untuk meningkatkan kesejahteraan setiap periode.

Dalam hal ini peran pemerintah cukup sebagai fasilitator dan motivator saja. Sebab dengan acuan di atas buruh mengetahui posisi sebenarnya, sebaliknya perusahaan tidak merasa terpaksa dalam pengupahannya. Lain halnya kondisi saat ini, berdasar omong-omong dengan para pengusaha ternyata banyak yang berargumen bila UMP yang ditetapkan pihak luar perusahaan tidak akan memotivasi dalam menaikkan produktivitas dan pengusaha menjadi tertekan dalam kesulitan.

Tidak ada komentar: